BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada akhir tahun 2012, The Fed selaku bank pemerintahan Amerika
Serikat (AS) berencana untuk menghentikan stimulus
pembelian US treasury bond (Future, edisi Agustus 2013). Meskipun
hanya sebatas rencana, kalangan investor menganggap rencana tersebut sebagai
suatu bad news sehingga mereka khawatir
akan adanya krisis ekonomi yang dapat menyebabkan risiko investasi semakin
besar. Secara tidak langsung, hal tersebut membuat para investor terutama dari
negara maju seperti Amerika Serikat menarik modalnya untuk menghadapi krisis
global di negaranya masing-masing. Dalam konteks ekonomi, pengambilan dana
asing dalam jumlah besar akan menyebabkan ketidakstabilan kurs di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia.
Turunnya nilai kurs
rupiah terhadap dollar hingga ke
level 9.679 rupiah di akhir tahun 2012 merupakan bukti konkret bahwa ekonomi
Indonesia masih terlalu lemah terhadap tekanan global (Kontan,Januari 2013). Berdasarkan data Bloomberg, selama tahun 2012
posisi terlemah rupiah terjadi pada 26 Desember 2012 lalu, yakni berada pada
level 9.799. Sementara, posisi terkuat rupiah terjadi pada 25 Januari 2012, di
mana mata uang rupiah berada di level 8.888. Secara langsung, masalah tersebut dapat
mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama pada sektor perdagangan,
keuangan dan investasi. Hal tersebut terlihat dari perubahan perkiraan ekonomi
ditahun 2013 sebesar 6, 3 % yang tereduksi menjadi 5, 2 %. Selain itu, turunnya
nilai kurs rupiah terhadap dollar akan meningkatkan beban yang
ditanggung oleh perusahaan akibat naiknya nilai pinjaman luar negeri. Secara
berkala, masalah tersebut menyebabkan tingkat risiko investasi terlalu besar
sehingga menurunkan investment grade yang
dimiliki Indonesia.
Dalam pelaksanaan
pembangunan ekonomi pada suatu negara, diperlukan berbagai macam pembiayaan di
pasar modal sebagai bahan utama dalam pembentukan portofolio yang menguntungkan
dalam mengurangi tingkat risiko dari tekanan ekonomi global. Faktor tersebut
yang kemudian membuat beberapa pembiayaan alternatif seperti efek syariah,
obligasi pemerintah dan reksadana mulai diminati karena memiliki risiko yang
lebih kecil. Berdasarkan statistik efek yang dikeluarkan Bapepam pada Mei 2013,
diketahui bahwa sukuk merupakan
pembiayaan alternatif yang paling diminati setelah reksadana. Hal tersebut
dikarenakan sukuk memiliki risiko
yang lebih kecil daripada saham maupun obligasi karena dijamin oleh pemerintah
dan berbasis syariah. Selain itu, yield sukuk
cenderung stabil dibandingkan efek lainnya. Prinsip dasar sukuk dimana kreditur memberikan dana kepada debitur untuk
menjalankan suatu proyek yang kemudian keuntungannya dibagi dua juga sesuai dengan
syariah Islam.
Berdasarkan Fatwa Dewan
Syariah Nasional No.32/DSN/MUI/IX/2002, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sukuk (obligasi syariah) merupakan surat
berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh
emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten membayar
pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil (margin/fee) serta membayar kembali dana obligasi
pada saat jatuh tempo. Sukuk yang
pertama kali terbit di BEI adalah sukuk
PT Indosat Tbk. yang diterbitkan pada September 2002 yang menggunakan akad mudharabah.
Dalam penerbitannya, sukuk tersebut menggunakan fatwa Dewan
Syariah Nasional (DSN)-MUI no. 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang obligasi syariah dan
No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang obligasi
syariah mudharabah sebagai
landasannya. Sedangkan untuk sukuk
dengan menggunakan akad ijarah terbit
pada tahun 2004 dengan berdasar pada fatwa No.41/DSN-MUI/III/2004 tentang obligasi
syariah ijarah.
Berdasarkan statistik
pertumbuhan sukuk tahun 2013 yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistika (BPS), dapat diketahui bahwa sukuk ijarah lebih diminati daripada sukuk dengan akad mudharabah. Hal tersebut dikarenakan sukuk ijarah memiliki imbal hasil yang stabil dan risiko lebih
kecil. Pada prakteknya sukuk ijarah
sama dengan obligasi berkupon tetap karena memberikan imbal hasil yang besarnya
sama setiap periode. Sementara sukuk
mudharabah mirip dengan obligasi berkupon variabel karena imbal hasil yang
diberikan lebih fluktuatif. Perbedaannya, jika obligasi berkupon variabel
tergantung fluktuasi suku bunga, maka sukuk
mudharabah tergantung keuntungan perusahaan/proyek yang dijaminkan dalam sukuk.
Dalam penerapannya, pembiayaan
syariah yang menggunakan sistem bagi hasil sering kali menimbulkan agency problem. Hal tersebut dikarenakan
yield yang diperoleh bergantung pada
keberhasilan proyek yang dibiayai oleh sukuk
tersebut. Berbeda dengan obligasi konvensional, dimana investor berhak
mengajukan klaim meski neraca perusahaan sedang negatif sehingga pemegang
sukuk selaku principal memiliki kepentingan yang lebih besar dibandingkan
pemegang obligasi konvensional. Selain
itu para investor beranggapan bahwa dengan risiko yang lebih besar dari
obligasi pemerintah, sukuk memberikan
imbal hasil (rata-rata 6%) yang terlalu kecil dibandingkan BI Rate pada bulan Desember 2013 sebesar 7,75
%. Meskipun yield yang diberikan
lebih tinggi namun selisihnya tidak terlalu
signifikan. Salah satu upaya
untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menerapkan good corporate governance (GCG)
yang dapat mengurangi risiko perusahaan terutama risiko kredit namun
meningkatkan yield sukuk ijarah (Rinaningsih,
2008). Good corporate governance pada
dasarnya merupakan suatu sistem (input,
process, output) dan seperangkat
peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders). Hariani (2011)
menjelaskan bahwa penerapan
GCG dapat dilihat dari, 1) struktur dan pengaruh kepemilikan, 2) pengaruh
transparansi dan pengungkapan informasi, dan 3) struktur dewan komisaris. Struktur dan pengaruh kepemilikan dapat
diukur dengan jumlah blockholder
yaitu pemegang saham yang kepemilikannya 5 % atau lebih. Pengaruh transparansi
dan pengungkapan informasi diukur dengan dua variabel yaitu komite audit dan
KAP (emiten diaudit oleh kantor akuntan publik big-four atau tidak). Struktur dewan komisaris diukur dengan
persentase keberadaan dewan komisaris independen dalam perusahaan sampel
(Hariani, 2011).
Pada umumnya jumlah blockholder, kualitas audit dan
komisaris independen pada perusahaan tersebut akan meningkatkan tekanan
terhadap manajemen sesuai dengan agency
teory. Dengan begitu akan meminimalisir kemungkinan terjadinya agency problem karena besarnya
pengawasan terhadap manajer untuk tidak mengambil keputusan yang dapat
merugikan pemegang saham (principal).
Namun, saat tekanan terhadap manajemen (agent)
terlalu besar, hal tersebut dapat membuat kinerja manajer terganggu dan terlalu
lama dalam mengambil keputusan yang tepat. Disinilah pentingnya penerapan GCG
dalam menselaraskan antara tujuan agent dan
principal untuk mengatasi agency problem. Dengan mekanisme GCG,
biaya agensi (agency cost) dapat
diminimalkan sehingga menggurangi risiko kredit yaitu dengan memonitor kinerja manajemen dan mengurangi asimetri
informasi antara perusahaan dengan kreditur.
Harga dan yield obligasi merupakan dua variabel
penting dalam transaksi sukuk bagi
investor. Investor selalu menanyakan yield
yang akan diperolehnya bila membeli obligasi dengan harga tertentu. Harga dan yield tersebut saling berhubungan, dan
hubungan tersebut terbalik atau negatif (Rudiyanto, 2012). Posisi negatif itu
memberikan arti bahwa bila yield
mengalami peningkatan maka harga sukuk
mengalami penurunan dan sebaliknya.
Ada beberapa cara
pengukuran yield yang sering
digunakan oleh para dealer dan portofolio manajer yaitu (a) yield sekarang (current yield); adalah yield yang
dihitung berdasarkan jumlah kupon yang diterima selama satu tahun terhadap
harga obligasi tersebut, (b) yield jatuh
tempo (yield to maturity); merupakan yield yang diperoleh saat jatuh tempo,
dan (c) yield untuk membeli kembali (yield to call); adalah yield yang diperoleh saat obligasi
tersebut dilunasi sebelum jatuh tempo (Hariani, 2011). Selain itu, Mustikasari
(2010) menyatakan bahwa perlu adanya Yield
Index, atau disebut juga Bondway (Bond Weigthed Average Yield), merupakan angka yang
diperoleh dari weighted average yield
terhadap nilai nominal dari obligasi tercatat dan dapat diperdagangkan untuk menjelaskan
keuntungan sebenarnya dari efek yang masih beredar. Di Indonesia terdapat
lembaga resmi yang bernama Indonesian
Bond Pricing Agency (IBPA) yaitu suatu lembaga khusus yang bertugas untuk
memberikan penilaian terhadap obligasi yang beredar. Tidak hanya menilai harga
dari suatu obligasi berdasarkan data keuangan perusahaan, IBPA juga memiliki
kewenangan untuk menyediakan bond market
indicators seperti Bondway,IGB,
ICB dan lain-lain. Bersama-sama dengan Bursa Efek Indonesia (BEI), IBPA
menerbitkan Indonesia Bond Market
Directory yang berisikan secara mendetail informasi mengenai obligasi yang
beredar di BEI dan juga data emiten yang menerbitkan obligasi.
Risiko kredit adalah
bentuk ketidakmampuan suatu perusahaan, institusi, lembaga maupun pribadi dalam
menyelesaikan kewajiban-kewajibannya secara tepat waktu baik pada saat jatuh
tempo maupun sesudah jatuh tempo. Terdapat dua jenis risiko kredit berdasarkan
waktunya yaitu yang bersifat jangka pendek (short
term risk) dan yang bersifat jangka panjang (long term risk). Risiko kredit (default
risk) dapat diukur dengan peringkat surat utang dan Debt Equity Ratio (DER) (Billings, 1999 dalam Rinaningsih, 2008).
Dari nilai DER dapat dilihat seberapa besar kekayaan perusahaan yang dapat
digunakan dalam memenuhi kewajibannya.
Blockholder
merupakan pemilik saham dengan kepemilikan diatas 5% sehingga memiliki kepentingan
yang lebih besar dibanding pemegang saham lainnya. Karena hal tersebut, blockholder tidak mensutujui adanya
kebijakan hutang manajemen yang dapat meningkatkan risiko kredit. Akibatnya
modal perusahaan lebih didominasi ekuitas dibandingkan liabilitas sehingga
nilai DER besar. Nilai DER yang besar menunjukan bahwa resiko yang dimiliki
perusahaan besar. Meskipun begitu dengan semakin banyaknya jumlah blockholder membuat RUPS memiliki lebih
banyak suara yang bervariasi. Akibatnya pengawasan terhadap fungsi manajemen
semakin tinggi sehingga pemaksimalan yield
melalui keputusan RUPS dapat diterapkan dengan lebih baik.
Kantor akuntan publik
(KAP) merupakan lembaga independen yang bertugas untuk menjalankan fungsi audit pada laporan keuangan
perusahaan. KAP Big-four merupakan
KAP yang memiliki jaringan paling besar di dunia. Hal tersebut memberikan
tingkat elektabiltas yang lebih tinggi dibandingkan KAP biasa sehingga membuat
investor berasumsi bahwa perusahaan yang diaudit oleh KAP Big-four memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan diaudit
oleh KAP non Big-four. Salah satu indikator
dalam menilai risiko perusahaan yang rendah adalah dengan melihat nilai DER
yang kecil. Namun dengan adanya KAP Big-four
sebagai auditor independen, secara tidak langsung akan menurunkan nilai yield dari efek yang diperdagangkan oleh
perusahaan tersebut. Hal tersebut sesuai dengan hukum permintaan dimana semakin
rendah resikonya maka semakin kecil keuntungan yang diperoleh.
Komisaris merupakan
legislatif dalam struktur organisasi perusahaan. Tugas utama dari komisaris
adalah untuk melindungi hak-hak pemegang saham akibat perbedaan kepentingan
antara principal dan agent. Adanya agency problem tersebut membuat keberadaan komisaris independen
dalam struktur dewan komisaris sangat penting. Secara tidak langsung keberadaan
komisaris independen dapat mengurangi risiko perusahaan sehingga nilai DER kecil.
Namun, terkadang keberadaan dewan komisaris membuat pengawasan terhadap fungsi
manajemen menjadi sangat ketat. Hal tersebut membuat manajer selaku agent mudah melakukan ekspansi sehingga
keuntungan perusahaan dapat dimaksimalkan karena keberadaan komisaris
independen mampu menekan adanya agency
problem. Jadi pada dasarnya komisaris independen berpengaruh positif
terhadap risiko kredit dan yield.
Risiko dan yield di lembaga keuangan syariah terutama
sukuk lebih kompleks daripada lembaga
keuangan konvensional terutama mengenai uang yang tidak dipengaruhi harga logam
mulia (fiduciary money, fluktuasi
suku bunga, piutang gagal bayar, kesalahan operasional, dll). Hal tersebut
dikarenakan selain harus menyesuaikan dengan regulasi konvensional seperti
peraturan pemerintah, sukuk juga
harus diimplementasikan sesuai dengan syariah Islam. Selain itu, yield dan
risiko kredit juga akan menuntut para
pelaku bisnis keuangan syariah lebih cermat termasuk didalamnya pengawasan dan
kontrol yang berfungsi baik. Disinilah perlunya peningkatan pelaksanaan good corporate governance dalam
institusi. Persaingan ketat diantara lembaga keuangan baik lembaga konvensional
maupun syariah jangan sampai mengeliminasi penerapan nilai-nilai syariah dalam
transaksi. Keinginan manajemen untuk memberikan imbal hasil yang maksimal bagi
nasabahnya dan return yang cukup baik untuk organisasinya terkadang memaksa
manajemen untuk penyederhanaan bentuk transaksi yang membuat nilai kesyariahannya
perlu dipertanyakan. Dampaknya rumor atau isu umum bahwa perusahaan syariah dan
lembaga keuangan mikro syariah sama dengan konvensional akan terus muncul
(Astuti, 2010).
Rinaningsih (2008)
melakukan penelitian praktik corperate
governance terhadap risiko kredit dan yield
obligasi. Penelitian tersebut menemukan bahwa praktek GCG dapat digunakan untuk
menjelaskan risiko kredit pada obligasi yang diproksikan dengan peringkat surat
utang walaupun tingkat kemampuan menjelaskannya relative kecil dan masih banyak faktor lain yang mempengaruhi surat
utang. Lebih lanjut, Rinaningsih (2008) juga mengatakan bahwa hubungan antara yield dengan praktek GCG tidak
signifikan, namun saat peringkat utang dimasukkan ke dalam model hubungan
tersebut memberikan dampak inkremental. Hal tersebut dikarenakan ada
keterkaitan yang erat dengan hukum permintaan bahwa semakin tinggi risiko maka
semakin tinggi tingkat pengembalian. Pada dasarnya keberadaan blockholder, kualitas audit dan komite
independen dapat meningkatkan fungsi pengendalian yang akan menekan kepentingan
manajer sebagai agent sehingga
mengurangi resiko. Dengan peningkatan pengawasan dan pengendalian manajemen
membuat implementasi perencanaan dalam meningkatkan nilai perusahaan dapat
tercapai sehingga yield yang
diperoleh pemegang sekuritas meningkat.
Bhoraj dan Sengupta
(2003) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa terdapat hubungan positif antara
mekanisme GCG dengan peringkat surat utang dan yields. Mereka mengatakan bahwa dengan menerapkan mekanisme GCG
pada perusahaan akan mengurangi biaya agensi (agency cost) yaitu dengan memonitor kinerja manajemen dan
mengurangi asimetri informasi antara perusahaan dengan kreditur terkait dengan agency theory. Langkah tersebut dinilai
sangat tepat sekali sebagai otorisasi antara pihak intern dan ekstern dalam
menghindari asimetri informasi dan risiko gagal bayar (default risk). Selain itu, Bhoraj dan Sengupta (2003) menemukan
fakta yang menarik dimana perusahaan dengan kepemilikan institusional dan
komposisi komisaris independen yang besar memiliki peringkat surat utang dan debt equity ratio yang tinggi tetapi Yield Indeks yang rendah. Hal tesebut
sesuai dengan kesimpulan Mustika (2010) yang menyebutkan bahwa penerapan GCG
akan meningkatkan penilaian terhadap Bondway
sebagai proksi dari yield.
Dalam penelitian lain
yang serupa, Hariani (2011) mengungkapkan bahwa GCG yang diwakili oleh jumlah blockholder, kualitas audit, komite
audit, dan komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap peringkat sukuk dan risiko kredit sukuk. Hanya saja pengaruh GCG terhadap
yield tidak terlalu signifikan.
Penelitian mengenai good corperate governance (GCG)
sebenarnya sudah cukup banyak, akan tetapi yang mengaitkan dengan resiko kredit
dan yield masih sedikit terutama
untuk sukuk. Selain itu, munculnya tuntutan
mengenai perlunya penerapan GCG dalam menangani rendahnya emiten sukuk menjadi permasalahan komplek, yang
harus dicari solusinya. Adanya perbedaan
antar penelitian terdahulu juga menjadi motivasi bagi peneliti untuk melakukan
penelitian skripsi mengenai “Pengaruh
Jumlah Blockholder, Kualitas Audit,
Komisaris Independen Terhadap Yield dan
Risiko Kredit Sukuk Ijarah”
B.
Pembatasan
Masalah
Adapun batasan atau ruang lingkup dalam penelitian
ini meliputi:
1. Objek penelitian adalah sukuk tercatat dan masih beredar di Bursa Efek Indonesia 31 Desember
2010, 31 Desember 2011, dan 31 Desember 2012.
2. Sukuk
yang diteliti adalah sukuk berakad ijarah.
C.
Perumusan
Masalah
1. Apakah
jumlah blockholder berpengaruh
positif terhadap Bondway sukuk ijarah korporasi?
2. Apakah
sukuk ijarah korporasi memiliki Bondway yang lebih kecil saat diaudit
oleh KAP Big-four ?
3. Apakah
jumlah komisaris independen berpengaruh
positif terhadap Bonway sukuk ijarah korporasi?
4. Apakah
jumlah blockholder berpengaruh negatif
terhadap Debt to Equity Ratio sukuk
ijarah korporasi?
5. Apakah
sukuk ijarah korporasi memiliki Debt to Equity Ratio yang lebih kecil
saat diaudit oleh KAP Big-four ?
6. Apakah
komisaris independen berpengaruh negatif
terhadap Debt to Equity Ratio sukuk ijarah korporasi?
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut:
a) Manfaat
Teoritis.
Sebagai
sarana untuk menguji agency theory berkaitan
dengan pengaruh blockholder, kualitas
audit dan komisaris independen terhadap yield
dan risiko kredit.
b) Manfaat
Praktis.
1.
Bagi Investor
Sebagai bahan
pertimbangan investor dalam menganalisa risiko kredit dan yield saat mengambil keputusan investasi portofolio terutama di
bidang syariah.
2.
Bagi Perusahaan
Sebagai masukan bagi perusahaan
dalam menerapkan konsep good corporate
governance secara baik dan menyeluruh dengan mempertimbangkan risiko kredit
dan yield perusahaan.